Menurut pengamat teknologi informasi Poempida Hidayatulloh saat dihubungi INILAH.COM, kelalaian Garuda Indonesia menimbulkan kerugian sangat mendasar yaitu kehilangan konsumen.
“Kalau misal kejadian seminggu sekali, dalam setahun bisa berapa kerugiannya. Itu cuma satu pesawat, kalau banyak pesawat bisa berlipat kerugiannya,” ujar Poempida, di Jakarta, kemarin.
Hal senada juga diungkapkan pengamat organisasi dan kebijakan publik Amy Yayuk Sri Rahayu. Perusahaan jasa pada dasarnya melayani dua pelanggan yaitu pelanggan eksternal dan internal. Untuk internal adalah karyawan mereka sendiri, sedangkan eksternal berarti pihak yang menggunakan jasa mereka secara komersial.
Perusahaan yang sehat tentunya mampu memenuhi kebutuhan kedua pihak ini. “Ini merupakan titik balik nadir bagi Garuda di mana perusahaan sudah sangat jatuh terkait pelayanan konsumen. Padahal, sebelumnya mereka sudah membangun citra dengan susah payah dan kinerjanya cukup bagus,” kata Amy menyayangkan.
Kerugian Garuda dilaporkan 250 juta sehari akibat masalah terganggunya sistem TI itu. Kerugian hanya pada tiket karena batal terbang, belum termasuk kerugian yang lain. “Ini ada kesalahan implementasi dari awal. Ibaratkan sebagai kanker, kalau didiamkan, Rp250 juta satu hari bisa menjadi miliar dalam kurun waktu pendek,” papar Poempida.
Ia mengakui bahwa dalam suatu sistem manajemen, selalu ada variabel ketidakpastian. Namun, ini harus dihitung dan dianalisa oleh tim untuk mengetahui solusi jika kemungkinan terburuk terjadi. “Jika ini tidak diukur oleh mereka, berarti sistemnya memang jelek.”
Jika terjadi penundaan atau pesawat tidak terbang dipastikan kerugian akan bertambah besar. Kerugian dari berkurangnya pendapatan serta biaya tambahan untuk perbaikan citra dan ganti rugi. “Padahal harga tiket Garuda jauh berbeda dengan maskapai lainnya. Sebagian besar orang berharap layanan Garuda jauh lebih baik,” kata Poempida lagi.
Amy Yayuk juga menyoroti kemungkinan Garuda Indonesia untuk bangkrut. Menurutnya, suatu perusahaan, secara sederhana dipengaruhi kinerja internal, kepuasan dan loyalitas pelanggan serta keuntungan perusahaan.
“Secara sistemik, perusahaan dipengaruhi oleh kinerja pegawai, baik dari bawahan hingga pimpinan. Jadi, jika pekerja fungsional dan manajerial tidak bekerja dengan baik ini berdampak pula pada kepuasan pelanggan.”
Penundaan dan pembatalan maskapai Garuda Indonesia, dinilai Amy, membuat banyak orang berpikir untuk berpaling dari Garuda, karena tidak mau kejadian seperti ini terulang lagi dan menyebabkan kekacauan rencana konsumen. Pada akhirnya, mereka beralih ke maskapai lain.
Hal itu kemudian berdampak pada keuntungan perusahaan. Jika profit turun karena banyak konsumen yang beralih, maka ini berdampak pula pada kebijakan perusahaan dalam memberikan layanan internal mereka sendiri.
“Kejadian tersebut seperti lingkaran setan,” tandas Amy. Ia juga berharap ini menjadi pembelajaran yang besar bagi Garuda karena untuk mengembalikan citra kembali butuh waktu dan biaya mahal.
Pada dasarnya, proses pemulihan tidak ada batasan karena tergantung optimalisasi perusahaan itu sendiri. Bisa jadi lebih dari satu tahun jika Garuda Indonesia merasa kejadian sekarang merupakan masalah kecil dan membiarkannya. “Ini membuat Garuda Indonesia bisa celaka,” tegas Amy.
Poempida juga meminta maskapai tersebut berani bertanggung jawab dan tidak menyalahkan pihak lain. Manajemen diminta untuk mengakui kesalahan dan bersedia mengundurkan diri jika tidak mampu melaksanakan fungsi kerja dengan baik.
“Budaya mengundurkan diri itu terhormat juga. Jadi, kalau memang tidak mampu jangan memaksakan diri. Bagaimanapun juga, pihak manajemen yang harus dipersalahkan,” imbuh Poempida. [mdr]
0 comments:
Posting Komentar