Bekal Seoarang Da'i - Aburifq Site
Headlines News :
Home » » Bekal Seoarang Da'i

Bekal Seoarang Da'i

oleh : syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin Rahimahullah

Seorang Da’i harus Berilmu tentang Apa-Apa Yang Didakwahkannya

Seorang da’i harus berilmu dan belajar ilmu yang bersumber dari Kitabullah dan sunnah Rasul-Nya, karena selain ilmu agama maka harus dicerna menurut ukuran Al-Qur’an dan As Sunnah. Bila sesuai dengan Al-Qur’an dan As Sunnah maka bisa diterima dan bila tidak sesuai wajib ditolak secara mutlak berdasarkan riwayat dari Ibnu ‘Abbas, beliau berkata:
“Aku khawatir akan ditimpakan kepada kalian batu dari langit. Aku berkata: “Rasulullah bersabda” sementara kalian berkata: “Abu Bakar dan Umar berkata”.

Jika perkataan Abu Bakar dan Umar tidak diterima karena bertentangan dengan sabda Rasulullah, maka bagaimana dengan perkataan orang yang jauh di bawah mereka baik dari sisi ilmu, ketakwaan dan kedekatan serta kekuasaan mereka dengan Rasulullah? Sungguh, menolak perkataan dan pendapat yang menyelisihi Kitabullah dan sunnah Rasul-Nya dari selain mereka lebih utama.

Allah berfirman:
“Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah Rasul takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa adzab yang pedih”. (QS An-Nuur: 63).
Imam Ahmad berkata: “Apakah engkau tahu apa fitnah itu? Yang dimaksud dengan fitnah adalah kesyirikan. Apabila menolak sebagian perkataan beliau dikhawatirkan akan masuk dalam hatinya suatu fitnah dan penyimpangan sehingga ia akan celaka” Sesungguhnya bekal pertama seorang da’i adalah ilmu yang bersumber dari Kitabullah dan sunnah Rasul-Nya yang shahih.

Adapun dakwah tanpa ilmu berarti berdakwah atas dasar kebodohan. Dan berdakwah atas dasar kebodohan lebih berbahaya, karena seorang da’i telah memposisikan dirinya sebagai orang yang memberikan bimbingan dan petunjuk bila dia jahil atau bodoh, maka dia akan tersesat dan menyesatkan orang lain, wal ‘iyadzu billah.

Kebodohan seperti itu disebut denga jahil murakkab (kebodohanyang sangat berat), dan jahil murakkab lebih berbahaya daripada jahil basith (kebodohan ringan). Jahil basith menghalangi seseorang untuk berbicara dan mungkin jahil basith bisa hilang dan sirna melalui proses belajar. Akan tetapi problem yang besar adalah jahil murakkab, karena orang yang tertimpa jahil murakkab tidak mau diam bahkan dia akan terus berbicara meskipun atas dasar kebodohan. Sehingga pada saat itu dia lebih merusak daripada menerangi kehidupan.

Wahai saudara-saudara…..
Sesungguhnya berdakwah menyeru kepada jalan Allah tanpa ilmu berarti telah menyelisihi jalan hidup Rasul dan jalan hidup para tabi’in. Simaklah firman Allah sebagai bentuk anjuran kepada Nabi Muhammad:‏
“Katakanlah: “Inilah jalan (agama)ku, aku dan orang–orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan bashirah”. Mahasuci Allah dan aku tidak termasuk orang-orang yang musyrik.” (QS. Yusuf: 108)

Maka beliau berkata: “Aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak kepada Allah berdasarkan bashirah (ilmu dan yakin)”. Maksudnya yaitu bahwa orang-orang yang mengikuti beliau mengajak kepada Allah berdasarkan bashirah, bukan berdasarkan kebodohan.

Wahai para da’i perhatikan firman Allah: “‘ala bashirah”, maksudnya yaitu bashirah (menguasai ilmu) tentang tiga perkara:

  • Menguasai materi dakwahSeorang da’i harus memahami hukum syar’i yang hendak disampaikan, sebab terkadang dia mengajak kepada sesuatu yang dia anggap wajib padahal hakekat hukum tersebut tidak wajib. Maka dia mewajibkan kepada hamba Allah dengan suatu perkara yang tidak wajib. Dan terkadang dia mengajak kepada sesuatu yang dia anggap haram, ternyata dalam ilmu agama sesuatu itu tidak haram berarti dia telah mengharamkan sesuatu yang halal dan boleh dalam ajaran Allah.
  • Menguasai kondisi dan keadaan Mad’u (orang yang menjadi obyek dan sasaran dakwah). Oleh karena itu, ketika Nabi mengutus Mu’adz ke Yaman, beliau berpesan kepadanya:

“Sesungguhnya kamu akan mendatangi suatu kaum ahli kitab”.

Agar Mu’adz mengetahui keadaan mereka dan siap menghadapi mereka. Jadi, kalian harus mengetahui keadaan mad’u (orang yang menjadi obyek dakwah) tersebut baik dari segi ilmu pengetahuan maupun kemampuannya dalam berdialog sehingga anda dengan mudah dan penuh kesiapan berhadapan, berdiskusi dan berdebat dengan mereka. Sebab apabila anda terlibat dalam perdebatan dengan mereka dan dia berhasil mengalahkan anda maka hal ini sangat berbahaya bagi kebenaran sementara anda yang menjadi penyebabnya. Dan anda jangan mengira bahwa pendukung kebatilan itu selalu kalah dalam berdebat bahkan Rasulullah bersabda:

“Sesungguhnya kalian berselisih di hadapanku, bisa jadi sebagian kalian lebih mahir dengan hujjahnya daripada sebagian yang lain, maka aku memutus-kan hukum yang menguntungkannya sesuai dengan apa yang aku dengar”.


Hal ini menunjukkan bahwa orang yang berselisih terkadang lebih mahir bersilat lidah daripada yang lain, meskipun dia dalam posisi yang salah, sementara hukum berlaku sesuai dengan dhahir ucapan. Jadi, seorang da’i harus memahami keadaan orang yang menjadi obyek dakwah.

Memahami cara dan metode dakwah.

Allah berfirman:‏ “Serulah (manusia) kepada jalan Rabbmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik, dan bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik”. (QS. An-Nahl: 125)
Sebagian orang terkadang ketika mendapati suatu kemungkaran langsung mengingkarinya tidak berfikir akibat buruk yang timbul dari sikap tersebut baik kepada diri sendiri maupun kepada para da’i yang lain.

Oleh karena itu, wajib bagi seorang da’i memperhatikan dan menganalisa berbagai dampak negatif dari setiap tindakan dakwahnya sebelum bergerak. Bisa jadi, pada saat sekarang kondisi jiwa seorang da’i penuh dengan semangat dan api kecemburuan yang menyala-nyala namun semangat dan kecemburuan tersebut padam pada masa yang akan datang bahkan dengan waktu yang tidak lama semangat itu akan luntur.
Oleh sebab itu, saya menganjurkan kepada para da’i agar berdakwah penuh dengan hikmah dan tidak tergesa-gesa. Meskipun sikap seperti agak sedikit lamban tetapi akan membuahkan akibat baik di kemudian hari, Insya Allah.

Sejalan dengan petunjuk nash-nash syar’i dan akal sehat yang tidak tercemar oleh penyakit syubhat dan syahwat maka seorang da’i harus berbekal dengan ilmu yang benar yang bersumber dari Kitabullah dan sunnah Rasul-Nya. Bagaimana anda bisa berdakwah dan mengajak kepada agama Allah sementara anda tidak mengetahui jalan menuju agama dan syariat-Nya? Apakah anda layak menjadi seorang da’i?!

Jadi, apabila seseorang belum mempunyai ilmu, maka yang lebih utama belajar terlebih dulu lalu setelah cukup ilmu mulai berdakwah. Ada seseorang yang berkata: “Apakah perkataanmu ini bertentangan dengan sabda Nabi: “Sampaikan dariku walaupun satu ayat?” Maka jawabannya adalah: Tidak, karena Rasul bersabda: (Sampaikan dariku), kalau begitu, apa yang kita sampaikan harus berasal dari Rasulullah walau hanya sedikit, inilah yang kami maksudkan. Ketika kami berkata “Sesungguhnya seorang da’i membutuhkan ilmu” bukan berarti harus mempunyai ilmu yang banyak dan luas, akan tetapi kami berkata “Janganlah berdakwah kecuali dengan dasar ilmu dan jangan berbicara tentang tentang sesuatu yang tidak diketahui”.

Hendaknya Seorang da’i Berakhlak Dengan Akhlak Yang Mulia

Hendaknya seorang da’i berakhlak dengan akhlak yang mulia, sehingga pengaruh ilmu tampak dan tercermin pada perangai, aqidah, ibadah, dan dalam semua tingkah lakunya. Dan perilaku seorang da’i bisa menjadi contoh dan teladan bagi orang lain. Jika perilaku dan perangai seorang da’i berlawanan dengan nilai akhlak yang mulia maka dakwahnya akan gagal dan kalaupun berhasil keberhasilan tersebut hanya kecil.

Jadi, wajib bagi seorang da’i untuk berakhlak mulia dan menghiasi dirinya dengan cahaya ibadah, muamalah atau perilaku terpuji sehingga dakwahnya diterima dan dia tidak termasuk ke dalam golongan orang yang pertama kali dibakar dengan api neraka.

Wahai saudaraku para da’i……..
Apabila kita memperhatikan secara seksama maka sering kita temukan beberapa da’i yang mengajak orang lain kepada kebaikan namun dia melupakan dirinya sendiri.

Tidak ragu lagi, bahwa ini merupakan suatu kesalahan besar, kecuali ada suatu pertimbangan yang lebih maslahat atau untuk merubah keadaan kepada kondisi yang lebih baik, sebab sesuatu yang utama terkadang menjadi suatu yang kurang utama untuk dilaksanakan dan suatu yang kurang utama lebih dikedepankan karena ada beberapa pertimbangan dan maslahat. Oleh sebab itu, Rasul pernah menyeru kepada beberapa nilai dan ajaran mulia akan tetapi suatu ketika beliau sibuk mengerjakan sesuatu yang lebih penting. Maka terkadang beliau berpuasa hingga dikatakan bahwa beliau tidak pernah berbuka, dan terkadang beliau berbuka hingga dikatakan bahwa beliau tidak pernah berpuasa.

Wahai saudara-saudaraku …
Saya berharap hendaknya setiap da`i selalu menghiasi dirinya dengan akhlak mulia dan akhlak yang patut dimiliki oleh setiap da`i, sehingga perkataan dan perbuatannya lebih layak dan pantas untuk diterima.

Seorang Da’i Harus Sabar Dalam Dakwahnya

Seorang da’i harus bersabar dalam berdakwah dan bersabar dalam menghadapi rintangan dan gangguan dakwah serta bersabar terhadap tantangan dakwah.

Seorang da’i harus bersabar dalam dakwah artinya terus menekuni dakwah dan tidak bosan bahkan dia harus terus menerus berdakwah mengajak manusia kepada jalan Allah sesuai dengan kemampuannya dan selalu melibatkan diri dalam berbagai aktifitas dakwah yang lebih bermanfaat dan lebih mengena. Seorang da’i harus bersabar dalam menekuni dakwah dan tidak boleh bosan dalam menyampaikan dakwah. Sebab apabila seorang da’i ditimpa kebosanan, maka dia akan merasa lelah kemudian meninggalkan dakwah, akan tetapi apabila dia tetap beristiqomah dalam berdakwah maka dia akan meraih pahala orang-orang yang bersabar dan mendapatkan hasil yang memuaskan. Renungkanlah firman Allah yang ditujukan kepada Nabi-Nya:

“Itu adalah di antara berita-berita penting tentang yang ghaib yang Kami wahyukan kepadamu (Muhammad), tidak pernah kamu mengetahuinya dan tidak (pula) kaummu sebelum ini. Maka bersabarlah, sesungguhnya kesudahan yang baik adalah bagi orang-orang yang bertakwa” (QS. Huud: 49).

Seorang da’i harus bersabar dalam menghadapi rintangan dakwah dari para penentang dan musuh dakwah, karena setiap orang yang berdakwah mengajak kepada Allah pasti mendapatkan tantangan sebagaimana firman Allah:
“Dan seperti itulah telah Kami adakan bagi tiap-tiap Nabi, musuh dari orang-orang yang berdosa. Dan cukuplah Rabbmu menjadi pemberi petunjuk dan penolong”. (QS. Al-Furqan: 31).

Jadi, setiap dakwah pasti mendapat tantangan dan rintangan dari para penentang, pendebat ataupun dari para penyebar syubhat, akan tetapi seorang da’i wajib untuk bersabar menghadapi orang-orang yang menentang dakwah, meskipun dakwah tersebut dituduh sebagai dakwah sesat dan batil, padahal dakwah tersebut sesuai dengan petunjuk Kitabullah dan tuntunan sunnah Rasulullah maka seorang da’i harus bersabar dalam berdakwah.

Demikian itu bukan berarti seorang da’i harus bersikukuh mempertahankan kebatilan apabila telah tampak kebenaran. Sesungguhnya orang-orang yang tetap bersikukuh mempertahankan kebatilan padahal telah tampak kebenaran kepadanya maka ia menyerupai orang yang disebutkan dalam firman Allah:
“Mereka membantahmu tentang kebenaran sesu-dah nyata (kebenaran itu)” (QS. Al-Anfal: 6).
Membantah kebenaran setelah datang penjelasan dan hujjah merupakan sifat yang tercela. Allah berfirman tentang orang-orang yang mempunyai sifat demikian:
“Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin. Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu, dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali” (QS. An-Nisa: 115)

Wahai para da’i, apabila ada suatu kritikan yang membangun dan bagus maka anda harus menerima dengan lapang dada namun jika hanya sekedar tuduhan batil jangan sampai melemahkan semangatmu dan mengendorkan langkahmu dalam berdakwah.

Demikian pula seorang da’i harus sabar terhadap rintangan dan gangguan dakwah karena seorang da’i pasti menghadapi hal-hal yang menyakitkan hati baik berupa perkataan atau perbuatan. Inilah para rasul -shalawat dan salam semoga tetap tercurah atas mereka-, mereka disakiti dengan perkataan dan perbuatan sebagaimana yang dijelaskan dalam firman Allah:
“Demikianlah tidak seorang rasul pun yang datang kepada orang-orang yang sebelum mereka, melain-kan mereka mengatakan: “Ia adalah tukang sihir atau orang gila”. (QS. Adz-Dzariyat: 52)

Bagaimana pendapatmu tentang seorang yang mendapat wahyu dari Rabbnya lalu diejek dan dikatakan bahwa “sesungguhnya kamu adalah tukang sihir atau orang gila”?. Tidak ragu lagi bahwa beliau merasa tersakiti, namun para rasul tetap bersabar dalam menghadapi ejekan dan hinaan yang menyakitkan hati baik berupa perkataan maupun perbuatan.

Perhatikanlah Rasul pertama, Nuh ketika kaumnya melihat beliau sedang membuat kapal, mereka mengolok-olok beliau, maka beliau berkata kepada mereka:
“Jika kamu mengejek kami, maka sesungguhnya kami (pun) mengejekmu sebagaimana kamu sekalian mengejek (kami). Kelak kamu akan mengetahui siapa yang akan ditimpa oleh adzab yang menghinakannya dan yang akan ditimpa adzab yang kekal” (QS. Huud: 38-39).
Dan mereka tidak puas hanya sebatas mengejek dan menghina dengan perkataan dan olokan belaka bahkan mereka mengancam untuk membunuh beliau sebagaimana firman Allah:
“Mereka berkata: “Sungguh jika kamu tidak (mau) berhenti hai Nuh, niscaya benar-benar kamu akan termasuk orang-orang yang dirajam” (QS. Asy-Syu’ara: 116).

Maksudnya, beliau akan bernasib seperti orang-orang yang dibunuh dengan cara dirajam dengan batu. Maka beliau diancam dengan pembunuhan, yaitu dengan ancaman bahwa “Kami telah merajam orang selainmu secara terang-terangan”, dalam rangka pamer kekuatan mereka atau show off power, sementara mereka benar-benar telah merajam orang lain, dan kamu wahai Nuh termasuk di antara mereka. Akan tetapi hal itu tidak menyurutkan semangat nabi Nuh dalam berdakwah, bahkan beliau terus berdakwah sampai Allah memenangkan beliau atas kaumnya.

Begitu juga dakwah nabi Ibrahim telah disambut oleh kaumnya dengan penolakan, bahkan mereka menciptakan opini miring[ dan sesat tentang dakwah beliau di kalangan umat manusia.
“Mereka berkata: ‘(Kalau demikian) bawalah dia dengan cara yang dapat dilihat orang banyak, agar mereka menyaksikan’” (QS. Al-Anbiya’: 61)

Kemudian mereka mengancam akan membakar beliau:
“Mereka berkata: ‘Bakarlah dia dan bantulah tuhan-tuhan kamu, jika kamu benar-benar hendak bertindak’” (QS. Al-Anbiya’: 68)
Mereka menyalakan api yang sangat besar dan dahsyat kemudian mereka melempar beliau dengan manjaniq (alat pelempar batu, seperti meriam pada zaman ini) ke arah api. Mereka melempar dengan alat itu karena sangat jauhnya tempat api dari mereka dan disebabkan sangat dasyatnya panas api tersebut, tetapi Allah Rabbul ‘Izzah wal Jalal (Yang Maha Perkasa dan Mulia) berfirman:
“Kami berkata: ‘Wahai api, menjadi dinginlah, dan menjadi keselamatanlah bagi Ibrahim’” (QS. Al-Anbiya: 69)

Sehingga api itu menjadi dingin dan menjadi keselamatan bagi beliau dan akhir yang baik berpihak pada Ibrahim.
“Mereka hendak berbuat makar terhadap Ibrahim, maka kami menjadikan mereka itu orang-orang yang paling merugi “ (QS. Al-Anbiya: 70).
Begitu juga dengan nabi Musa yang mendapat ancaman dari Fir’aun akan dibunuh.
“Biarkanlah aku membunuh Musa dan hendaklah dia memohon kepada Rabbnya, karena sesungguh-nya aku khawatir dia akan menukar agamamu atau menimbulkan kerusakan di muka bumi”. (QS. Ghafir: 26).

Nabi Musa diancam dengan pembunuhan, namun keberuntungan berakhir di pihak beliau‘alaihi shalatu wa salam.
“Dan Fir’aun beserta kaumnya dikepung oleh adzab yang amat buruk” (QS. Ghafir: 45)

Demikian pula dengan nabi Isa, beliau disakiti bahkan orang Yahudi menuduh beliau sebagai anak zina. Dan mereka menyangka telah membunuh dan menyalib beliau, tetapi Allah berfirman:
“Padahal mereka tidak membunuhnya dan tidak (pula) menyalibnya, tetapi (yang mereka bunuh ialah) orang yang diserupakan dengan Isa bagi mereka. Sesungguhnya orang yang berselisih paham tentang (pembunuhan) Isa, benar-benar dalam keragu-raguan tentang yang dibunuh itu. Mereka tidak mempunyai keyakinan tentang siapa yang dibunuh itu, kecuali mengikuti persangkaan belaka, mereka tidak (pula) yakin bahwa yang mereka bunuh itu adalah Isa. Tetapi (yang sebenarnya), Allah telah mengangkat Isa kepada-Nya. Dan adalah Allah Maha Perkasa Lagi Maha Bijaksana” (QS. An-Nisa: 157-158).

Sehingga beliau selamat dari makar keji mereka.
Begitu juga penutup dan imam para nabi serta sayyid Bani Adam, Muhammad, Allah berfirman tentang beliau:
“Dan (ingatlah), ketika orang-orang kafir (Qura-isy) memikirkan daya upaya terhadapmu untuk menangkap dan memenjarakanmu atau membu-nuhmu, atau mengusirmu. Mereka memikirkan tipu daya dan Allah menggagalkan tipu daya itu. Dan Allah sebaik-baik pembalas tipu daya”. (QS. Al-Anfal: 30).

“Mereka berkata, “Hai orang yang diturunkan Al-Qur’an kepadanya, sesungguhnya kamu benar-benar orang yang gila.” (QS. Al-Hijr: 6).
“Dan mereka berkata: “Apakah sesungguhnya kami harus meninggalkan sembahan-sembahan kami karena seorang penyair gila?” (QS. Ash-Shaffat: 36)

Beliau mendapatkan hal-hal yang menyakitkan dari mereka baik berupa perkataan maupun perbuatan, seperti yang telah diketahui oleh para ulama ahli sejarah, beliau tetap bersabar, maka kesudahan yang baik berpihak pada beliau.
Jadi, setiap da’i pasti akan menghadapi rintangan dalam berdakwah akan tetapi ia harus tetap bersabar. maka Allah berfirman kepada Rasul-Nya:
“Sesungguhnya Kami telah menurunkan Al-Qur’an kepadamu (hai Muhammad) dengan berangsur-angsur”. (QS. Al-Insan: 23).

Kelanjutan ayat di atas menurut pengamatan kita seharusnya perintah untuk bersyukur namun ternyata Allah berfirman kepada beliau:
“Maka bersabarlah kamu untuk (melaksanakan) ketetapan Rabbmu” (QS. Al-Insan: 24)

Demikian itu sebagai isyarat bahwa setiap orang yang mengamalkan ajaran Al-Qur’an mesti ditimpa kesukaran yang membutuhkan ekstra kesabaran.
Maka wajib bagi setiap seorang da’i tetap bersabar dan terus berdakwah sampai datangnya kemenangan. Tidak harus kemenangan itu datang ketika ia masih hidup, namun suatu yang terpenting adalah panji dakwah tetap berkibar di tengah umat manusia dalam keadaan murni (putih bersih) dan diikuti. Dan tarjet utama dakwah bukanlah jumlah orang yang sudah mengikuti dakwah namun yang terpenting bagaimana panji dakwah tetap berkibar dan suara dakwah terus bergema meskipun dia telah tiada, sehinggga dia seakan-akan masih tetap hidup walaupun dia sudah tiada.

Allah berfirman:
“Apakah orang yang sudah mati, kemudian dia kami hidupkan dan kami berikan kepadanya cahaya yang terang, yang dengan cahaya itu dia dapat berjalan di tengah-tengah masyarakat manusia, serupa dengan orang yang keadaannya berada dalam gelap gulita yang sekali-kali tidak dapat keluar dari padanya” (QS. Al-An’am: 122).

Pada hakekatnya hidup dan tidaknya seorang da’i bukan tergantung pada bersatunya ruh dan jasad belaka tetapi seorang da’i dinyatakan hidup secara hakiki bila pendapat dan kebaikannya tetap ada dan lestari di tengah-tengah umat manusia.

Renungkanlah kisah Abu Sufyan bersama Heraklius. Pada tahun ke tujuh hijriyah Heraklius mendengar bahwa telah muncul seorang Nabi maka dia memanggil Abu Sufyan, lalu dia bertanya kepadanya tentang kenabian, kepribadian, nasab, ajaran dakwah dan tentang para sahabat beliau. Ketika Abu Sufyan telah menjawab semua pertanyaan maka Heraklius berkata kepadanya: “Jika apa yang kamu katakan benar, maka dia akan menguasai wilayahku hingga bumi yang ada di bawah kedua kakiku ini”. Subhanallah, siapa yang mengira bahwa raja dari sebuah imperium -menurut istilah mereka- akan melontarkan ucapan seperti itu tentang Nabi Muhammad, padahal pada saat itu beliau belum membebaskan jazirah Arab dari perbudakan setan dan hawa nafsu. Siapa yang mengira bahwa seorang kaisar akan mengatakan perkataan seperti di atas?. Oleh karena itu, ketika Abu Sufyan keluar, dia berkata kepada kaumnya:

لَقَدْ أَمِرَ أَمْرُ اْبنِ أَبِيْ كَبْشَةٍ إِنَّهُ لَيَخَافُهُ مَلِكُ بَنِيْ اْلأَصْفَرِ

“Sungguh urusan Ibnu Abi Kabsyah telah menjadi besar, Raja Bani Al-Ashfar (bangsa berkulit putih) telah gentar kepada-nya”.
“Amira“ maksudnya adalah “adzuma” (besar) seperti dalam firman Allah:

لَقَدْ جِئْتَ شَيْئًا إِمْرًا

“Sungguh telah datang kepadamu sesuatu yang besar”.

Dan ternyata Nabi benar-benar telah mampu menaklukkan semua wilayah dan kekuasaan Heraklius dengan cahaya dakwah bukan dengan kebesaran pribadi beliau, karena dakwah beliau datang di muka bumi untuk menebarkan dakwah Islam dan membinasakan berhala serta kesyirikan dan para pendukungnya.

Begitu juga para Khulafa’ur Rasyidin setelah Nabi Muhammad telah menaklukkan semua wilayah dan kekuasaan Hiraklius dengan dakwah dan syariat beliau.

Jika demikian, maka wajib bagi setiap da’i untuk bersabar sebab kesudahan yang baik pasti berpihak pada mereka dengan syarat mereka jujur bersama Allah baik ketika masih hidup atau sesudah mati.

“Musa berkata kepada kaumnya: “Mohonlah pertolongan kepada Allah dan bersabarlah. Sesungguhnya bumi (ini) kepunyaan Allah, dipusaka-kannya kepada siapa yang dikehendaki-Nya dari hamba-hamba-Nya. Dan kesudahan yang baik adalah bagi orang-orang yang bertakwa” (QS. Al-A’raf: 128).

Dan Allah berfirman:
“Sesungguhnya barangsiapa yang bertakwa dan bersabar, maka sesungguhnya Allah tidak menyia-nyiakan pahala orang-orang yang berbuat baik.” (QS. Yusuf: 90).

Share this article :

3 comments:

Anonim mengatakan...

numpang silaturrahim mas.. :)

lam kenal...

Anonim mengatakan...

My partner and I really enjoyed reading this blog post, I was just itching to know do you trade featured posts? I am always trying to find someone to make trades with and merely thought I would ask.

Anonim mengatakan...

What a great resource!

topads

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Proudly powered by Blogger
Copyright © 2011. Aburifq Site - All Rights Reserved
Original Design by Creating Website Modified by Adiknya